maju tak gentar

maju tak gentar
maju tak gentar

sma katolik wijaya kusuma blora

Powered By Blogger

recent post

INI ADALAH TEMPAT MENAMPILKAN KREATIFITAS & PROFILE XI.IPS2 TOYAMA BUAD KALIAN YANG INGIN UPLOAD KREATI HUB. KITA, DI IPS 2 SMA KATOLIK WIJAYA KUSUMA BY GINANJAR FEELAR.W

Pengikut

Rabu, 10 Desember 2008

Selamanya Laskar Pelangi

·


Pekan-pekan terakhir, bisa dipastikan, film “Laskar Pelangi” tengah mengharubiru seluruh penonton di tanah air. Ikal, Lintang, Kucai, Bu Mus, dan sejumlah tokoh-tokoh lain dalam buku kreasi Andrea Hirata itu, kini tengah berjuang menawarkan inspirasi menjalani hidup melalui layar perak.


Jauh sebelum membaca novel inspiratif itu, dan tentu saja, jauh sebelum film itu digarap, saya mendapati kehidupan Laskar-laskar Pelangi di daerah lain. Di hamparan Pulau Pasir Padangan – gusung yang dijadikan pemukiman seluas sekitar satu kilometer – di tengah Selat Muna, saya menjumpai anak-anak sekolah seusai Ikal dan kawan-kawan. Mereka anak-anak suku Bajo di daerah Sulawesi Tenggara.

Beberapa setelah turun dari perahu nelayan, mereka menyambut saya dan teman-teman dari Tim Potret dengan suka cita. Mereka melompat-lompat kegirangan. Berteriak. Dan, beberapa di antaranya mencoba menyapa dalam Baong Same (bahasa suku Bajo). Kami hanya tersenyum. Sementara, saya sendiri lebih asyik merekam aksi-aksi mereka melalui handycam di tangan saya, untuk melengkapai kamera obyektif Teguh Prihantoro (kamerawan Potret).


Ketika, kamera Teguh mengarah kepada kami, saya langsung “menguji” anak-anak Bajo itu dengan pertanyaan-pertanyaan kewiraan paling dasar, seperti nama negara dan nama presiden. Khususnya, menyangkut presiden kita yang sekarang, yang katanya paling populer.


“Siapa presiden kita sekarang?”


Mereka hanya senyum-senyum. Saya mengulang pertanyaan itu. Lagi-lagi, mereka hanya tersenyum. Kalaupun ada mencoba menjawab, ternyata ia menyebutkan nama presiden terdahulu. Artinya, mereka tidak mengenal pak SBY.


“Sudah sekolah? Kelas berapa?” tanya saya kepada seorang bocah berambut merah dan berpakaian dekil.


“Kelas satu,” katanya.


“Saya juga kelas satu,” kata anak yang lain.


“Ada yang kelas dua?” tanya saya lagi.


“Semua anak di Pasar Padangan kelas satu. Tidak ada yang kelas dua,” kata seorang anak perempuan. Umurnya saya taksir sekitar 12. Jadi, sudah cocok masuk tingkat SMP. Yang pasti, anak-anak di pulau itu semuanya kelas satu SD!


Di kesempatan lain, ketika saya mengunjungi Dusun Datai di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh – perbatasan antara Jambi dan Riau – saya juga menjumpai anak-anak usia sekolah suku Talang Mamak. Lokasi dusun sangat terpencil. Untuk berjalan kaki, paling tidak dibutuhkan tiga hari.


Untuk kebutuhan gambar, saya juga meminta teman-teman dari Fakultas Sosiologi Universitas Riau – teman seperjalanan Tim Potret saat itu – untuk membuka kelas darurat. Seperti juga kepada anak-anak suku Bajo, kepada anak-anak suku Talang Mamak juga diajukan pertanyaan-pertanyaan ringan soal negara dan presiden kita.


“Ada yang tahu, kita ada di negara mana?” tanya Ayek, mahasiswa yang saya dorong menjadi guru dadakan itu.


Mereka diam. Mulutnya terkunci rapat. Ekspresinya wajah anak-anak itu begitu lugu dan seakan kosong.


Ayek mengulang pertanyaannya berkali-kali. Tapi, feedback yang diberikan anak-anak tetap sama. Diam seribu bahasa. Dan, tak jawaban yang bisa didapat.


“Ada yang tahu, siapa presiden kita yang sekarang?”


Mulut anak-anak makin terkunci rapat. Mereka menatap Ayek. Tapi, tatapannya kosong. Jauh dari kesan peduli. Apalagi berani mempresentasikan kepintaran otaknya. Akhirnya, Ayek capek sendiri. Dia yang bertanya, dia pula yang menjawab.


Anak-anak suku Bajo dan anak-anak suku Talang Mamak itu memang berbeda jauh dengan Ikal dan kawan-kawan di Belitong tempo dulu. Anak-anak itu tertinggal banyak dalam segi apa pun dibandingkan siswa SD Muhammadiyah Gantong itu. Sekali lagi, dalam segi apa pun. Termasuk, motivasi dan kegigihan bertarung. Entah karena faktor geografis yang begitu terpencil, entah karena persoalan kultur yang masih kolot, dan seribu entah yang begitu dijabarkan oleh siapa pun.


Perbedaan lain yang sangat mencolok dan bisa menghujam hati kecil kita, anak-anak itu ada di masa sekarang! Bahkan, kalau mau dirinci lebih gamblang, jutaan anak-anak usia sekolah senasib dan sependeritaan seperti anak-anak suku Bajo dan anak-anak suku Talang Mamak itu bertebaran laksana rumput di padang savana. Tengoklah Papua, Maluku, NTT, Kalimantan, bahkan di Pulau Jawa sendiri, Ikal-Ikal masa sekarang menghamburkan keterpurukan dunia pendidikan di negeri ini.


Maka, bersyukurlah bila novel dan film “Laskar Pelangi” bisa menjadi inspirasi untuk memanfaatkan anggaran pendidikan yang Insya Allah menjadi 20 persen dalam APBN tahun depan dengan sebaik-baiknya. Artinya, tepat sasaran dan tepat guna. Lebih khusus lagi, bisa menjangkau anak-anak usia sekolah yang justru, selamanya menjadi “Laskar Pelangi”.


Selain itu, tanpa harus bergantung kepada pemerintah dengan anggaran yang telah ditambah itu, sudah pasti siapa pun dituntut untuk berlomba-lomba memunculkan Ikal, Lintang, Mahar, dan Laskar-Laskar Pelangi lain, di daerahnya. Termasuk para orangtua yang juga harus gigih mendorong anaknya menjadi pintar, cerdas, dan tahu siapa presiden negara ini?

0 komentar:

soal un

jam

!-- Begin Easy Flash Counter Code --> Locations of visitors to this page

neobux

iklan klikrupiah.com

BidVertiser

Earn money from your website/blog by, selling text links, banner ads - Advertisers can, buy links, from your blog for SEO. Get paid through PayPal Reviewmu.comReviewmu.com Reviewmu.com Reviewmu.com

Reviewmu.com

Reviewmu.com

poto q

admin toyamaips2.blogspot.com